Duka cita adalah duri-duri menancap di dada
ketika percaya tak lagi bermakna.
Tajamnya duri dalam gatra berbisa:
Racun apakah yang terhembus di telingamu?
Paranoia bersenda gurau dalam hiruk pikuk
ingatan tentang episode bodoh penuh birahi.
Tentu bukan salahmu, Sayang, tapi salahku:
Kenapa mempermasalahkan masa lalu?
Aku menyublim dalam ketidakhirauan
ada tapi tiada
di mana kemenangan bermakna samsara:
Matahari tak bersinar lagi bukan?
Waktu berdetak detik
menuntut sabar namun tak terkabulkan.
Meratapi abu, mengutukiku si pembakar segala:
Lupakah akan lara pedih perih satu-satunya pencintamu?
Mungkin sebaiknya moksa saja
ketimbang menjadi roh tak berupa
terlupa dalam bayangan yang meraja di jiwamu.