Melupakan Kenangan

20161221_114350.jpg“Akan tiba masanya kau akan melupakanku…” Matanya yang selalu berbinar penuh energi itu tiba-tiba meredup sayu menatapku. Ditopangnya dagu yang serupa sarang lebah menggantung itu dengan tangan kiri, lalu matanya beralih ke luar jendela, meneliti satu demi satu awan putih di langit biru bulan September.

“Tidak usah omong yang aneh-aneh. Ayo, minum susu coklatmu. Tampaknya sudah hampir dingin.” Aku menanggapinya dengan nada datar, seolah tak menganggap apa yang barusan diucapkannya itu sesuatu yang penting dan serius.

“Ya, ya, nanti kuminum.” Ucapnya separuh melayang dalam pikirannya sendiri. Matanya tetap berada dalam dunia awan-awan putih di langit biru bulan September.

Aku jadi khawatir. Sudah 3 tahun aku mengenalnya dan kalau pengenalanku atas dirinya cukup mendalam, aku tentu menyadari bahwa ketika ia berubah menjadi pendiam dan melamun, dan tidak seberisik biasanya, tentu ada hal-hal yang mengganggu pikirannya.

“Menurutmu siapa yang akan lebih dulu lupa? Aku atau kamu? Aku bertaruh pasti kamu duluan yang melupakanku…” Tiba-tiba matanya yang bulat itu beralih memandangku. Di kedalamannya kulihat tanya.

“Aku tak tahu, Rei, tapi kamu tahu aku tak bisa menjanjikan apa pun padamu.”

“Iya. Itu sebabnya aku yakin sekali kamu akan duluan lupa.”

“Daripada memperdebatkan siapa yang duluan lupa, lebih baik kita menciptakan kenangan-kenangan, Rei. Selagi kita bisa.”

“Buat apa menciptakan kenangan kalau kemudian melupakannya?”

Hmm. Logikanya mengiris tajam seperti pisau yang dengan mudah membagi kue keju di hadapanku menjadi dua. Tentu saja kenangan hanya bisa dinikmati ketika ada ingatan. Ingatan hanya ada ketika tak lupa. Mengingat dan melupakan berada di dua ujung kutub yang berlawanan. Mustahil ada seiring sejalan.

“Mari kita nikmati saja kue keju ini, Rei. Ini kesukaanmu, bukan?”

“Kau mengalihkan topik…”

“Tidak. Aku hanya tak ingin memikirkan hal-hal yang aku tak pasti di masa depan. Aku hanya tak ingin menjanjikan hal-hal yang aku tak pasti di masa depan.”

“Jadi kita ini sedang apa? 3 tahun ini bermakna apa?”

“Kita menciptakan kenangan-kenangan yang pasti, yang bisa terasa, yang bisa kita ingat. Hingga saatnya kita memutuskan untuk lupa.”

“Tuh kan. Kau akan memutuskan untuk melupakanku.” Kali ini matanya membasah.

Aku menciumnya. Lama. Dalam. Merasakan air matanya membasahi pipiku. Sementara di luar, matahari menghilang di balik awan. Di sakuku, telepon genggamku memperdengarkan nada panggil yang khas. Calon istriku menunggu.

-fin-